Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dampak Minyak Goreng Bersubsidi Rp 14 Ribu Modal Tumbang ; Curhat Pedagang Kecil Apakah ini Solusi?

Dampak Minyak Goreng Bersubsidi Rp 14 Ribu Modal Tumbang ; Curhat  Pedagang Kecil Apakah ini Solusi?

 

Info.nikekuko.com - Harga Minyak goreng subsidi Rp 14 ribu telah masuk ke wilayah Kabupaten Rejang Lebong,  Rabu 19 Januari 2022. Kondisi ini dikeluhkan oleh para pedagang.

Masalahnya stok minyak goreng masih merupakan harga lama. Namun, sulit untuk menjualnya pada masyarakat. Seperti yang diungkapkan Mila , pedagang sembako di Pasar Atas  itu mengaku baru kemarin dulu mengambil minyak goreng 60 dus.


Baca juga :  ITB Kembangkan Bensin Sawit (Bensa), Berkolaborasi dengan BPDPKS, Ini Sanksi Jika Jual Minyak Goreng di Atas Rp 14.000 Per Liter

 

Diakui di satu sisi, pihaknya bersyukur karena ada penurunan harga. Akan tetapi di sisi lain, ia kesulitan menjual minyak goreng yang sudah ada di tokonya.

"Bersyukur sih penurunan harganya bagus. Akan tetapi kita masih punya stok banyak. Kita tidak dapat jualan jadinya," ucap dia.

Menurut Mila, apabila pemerintah ingin memberikan subsidi, alangkah baiknya diberikan jeda waktu.

Sehingga barang lama yang sudah distok oleh para pedagang, bisa dikeluarkan lebih dulu.

"Biasanya saya jual minyak (goreng) 5-6 sehari. Hari ini satu pun minyak saya tidak ada yang beli," ujarnya.

Dijelaskan Mila, satu dus minyak goreng berisi 12 kemasan minyak, per kemasan berisi 1 liter.

Dengan harga minyak yang tergolong tinggi, dirinya juga tidak banyak mengambil untung.

"Jika dari perusahaan harganya Rp 208 ribu per dus, saya jualnya paling Rp 209 ribu atau 210 ribu per dus. Untung cuma seribu atau dua ribu," katanya.

Mewakili dari  pedagang  ia  juga mempertanyakan mengapa toko berjejaring diberikan harga subsidi, sementara pedagang kecil di pasar tidak diberikan harga subsidi.

"Kenapa bos-bos yang sudah besar dikasih subsidi sama pemerintah, Mengapa tidak rakyat kecil gini dikasih subsidi? Di mana letak kebijaksanaan pemerintah kalau gitu? Masa sudah bos dikasih subsidi, sedangkan rakyat yang jualan sembako yang kecil-kecil ini tidak dikasih subsidi," ucapnya bertanya-tanya.

Mila mengatakan, saat sedang berjualan ada pembeli yang mempertanyakan kenapa harga minyak di tempatnya masih mahal.

Pihaknya pun mengaku belum ada penurunan, karena baru dua hari lalu datang orderan 60 dus.

"Masa dua hari saya habiskan 60 dus, kan nggak mungkin. Saya sudah SMS bosnya (distributor minyak), yang intinya menanyakan penurunan harga, karena di minimarket sudah Rp 14 ribu. Saya tidak bisa jual minyak, karena semua orang beli ke minimarket. Tapi belum ada jawaban," ungkapnya.

 

Baca juga :  DME, Calon Pengganti Gas Elpiji sebagai Bahan Bakar Memasak,    Dikatagorikan Orang Kaya atau Miskin Versi Indonesia

 

Saat ini, stok minyak goreng tidak jalan akhirnya modal tidak mutar.

Apabila masih belum ada kepastian penurunan harga, Mila pun terpaksa mengembalikan stok minyak goreng tersebut.

"Jika perusahaan mau menurunkan harga, saya tetap akan jual. Kalau perusahaan tidak mau menurunkan harga, sementara di minimarket harganya Rp. 14 ribu, ya saya kembalikan. Sebab saya belum bayar. Toh apa yang dipakai bayar, karena saya nggak bisa jualan. Belum lagi saya harus bayar tempat di pasar. Untungnya saja jualan sembako, kalau hanya minyak saja saya mau makan apa," keluhnya.

Hal senada juga diungkapkan pedagang lain. Semenjak harga minyak goreng mahal, dirinya belum berani order minyak goreng.

"Apalagi sekarang harga turun, sedangkan di pasar masih tetap. Orang lebih memilih beli di minimarket. Walaupun pembeliannya dibatasi dua kemasan per orang, bisa saja mereka membeli di minimarket satu, dan beli lagi ke minimarket lainnya," ucap dia.


Tentu saja ini membuat masyarakat lebih memilih membeli di pasar modern, ketimbang di pasar tradisional.

Ibu Yuli , seorang pedagang Tunas Harapan, mengatakan, minyak goreng baru datang, kemarin. Ia baru kemarin mendapat harga dari pabrik Rp 18 ribu, dan dijual Rp 19 ribu.  Adanya penurunan harga minyak goreng ini membuatnya galau.

“Baru kemarin datang, harga segitu (Rp 18 ribu). Belum tahu gimana ini kalau harus diturunkan. Soalnya pasaran masih mahal, harga naik dan belum turun. Sepertinya masih harga mahal, karena dirinya belum ada membeli harga minyak di bawah Rp 14 ribu,” ucapnya.

Pendapat dia, dengan penurunan ini dia tidak tahu nasib minyak goreng yang sudah dibeli.

Apakah dengan hal ini, pemerintah memberikan solusi?  Dahulu harga minyak melambung hingga Rp 21 ribu saja, ia tetap menjual dengan harga Rp 20 ribu. Hal ini memang harga beli masih bisa mengambil untung Rp 1000.

“Dengan keadaan sepi dan minyak tidak bisa di-retur atau pengembalian terus bagaimana? Saya juga bingung kalau begini,” ungkapnya, sembari mengaku kalau tahu diberi waktu seminggu oleh pemerintah untuk menjual di angka Rp 19 ribu.

Pedagang lainnya, Pak Eken mengatakan, dirinya juga membeli dari supplier di harga pokok Rp 18 ribu kemudian dijual hingga Rp 19 ribu dan Rp 20 ribu.

Baru dua minggu lalu ia membeli dan masih belum laku, stoknya masih ada. Para pedagang eceran saat ini tidak berani membeli minyak goreng dengan jumlah banyak, karena menunggu didistribusikannya minyak goreng harga subsidi.

Seorang pedagang minyak goreng eceran, Riski menjelaskan, harga minyak goreng curah saat ini berkisar Rp19.000 per liter. Harga ini masih tergolong tinggi.

"Informasinya memang ada minyak goreng subsidi, tapi tadi saat distributor turunkan barang (minyak goreng), harganya masih tinggi," ujar Riski.

Menurut Riski, mahalnya harga minyak goreng sudah dirasakannya sejak pertengahan 2021.

Terkait informasi adanya minyak goreng dengan harga subsidi, Riski tidak berani membeli atau menyetok minyak goreng dengan jumlah banyak.  Ia berharap pemerintah segera menormalkan harga minyak goreng. Apalagi sejak harga minyak goreng tinggi, penjualannya menurun drastis.


Dia mengakui, sebagian besar pedagang tidak mau menurunkan harga, mengingat pedagang membeli minyak dengan harga yang cukup tinggi.  Kendati demikian beberapa pedagang tidak banyak stok minyak.

Dijelaskan Dana, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) memang meanggarkan lebih dari Rp 7,6 Trilun untuk menanggulangi potensi kerugian dengan metode rafaksi dari distributor ke peritel atau pemilik unit ritel mikro.

Namun yang terjadi hingga saat ini, belum ada kejelasan bagaimana metode ini dilaksanakan.

"Sekaligus dalam kesempatan ini, kami ingatkan kepada seluruh pemilik warung, kios dan toko ritel, jadi metodenya adalah rafaksi, selisih kerugian yang diderita dipotong atau dikembalikan, bukan retur barang," katanya.


Baca juga :  Informasi Tentang Negara Maju di Eropa dan Negara Berkembang di Asia atau Amerika Selatan, Serta perbedaan Ciri Masing-Masing di Bidang Kependudukan dan Ekonomi.

 

Hal ini berkebalikan dengan kondisi di lapangan dimana Jaringan Peritel Nasional bahkan Minimarket Jaringan Nasional sudah langsung bisa menerapkan, sehingga terjadi aksi panic buying, dengan pembelian jumlah besar yang dilakukan oleh masyarakat di beberapa Minimarket Jaringan Nasional.

"Inilah bentuk dikotomi yang kami alami, proses untuk kami di peritel lokal seperti pemilik toko kecil, minimarket lokal, warung, kios sangat lambat. Ini berpotensi akan menjadi masalah saat dilakukan sidak, karena tentu saja kebijakan satu harga Minyak Goreng tersebut belum bisa diterapkan seketika seperti halnya Minimarket Jaringan Nasional," ujarnya.

 

Baca juga :   Fenomena Langka di Gurun Sahara, Suhu Minus 2 Derajat dan Turun Salju,   Konsep Dasar Perubahan

Post a Comment for "Dampak Minyak Goreng Bersubsidi Rp 14 Ribu Modal Tumbang ; Curhat Pedagang Kecil Apakah ini Solusi?"